A. PENGERTIAN ETIKA BISNIS
Etika dalam buku
Sonny Keraf (2012 ; 13-14), Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang
dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dalam
pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri
seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti
etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang
baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang
yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu
terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.
Pengertian Etika
sama dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata Latin mos,
yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti ‘adat istiadat’ atau
‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian pertama ini, yaitu pengertian harfiahnya,
etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia
harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam
sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan
terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.
Kesimpulannya : Etika merupakan
pola tingkah laku yang terus berulang menjadi kebiasaan yang berkaitan dengan
nilai-nilai, tata cara hidup dan aturan hidup yang baik.
B. MACAM-MACAM TEORI ETIKA
Prinsip prinsip
etika tidak berdiri sendiri. Tetapi tercantum dalam suatu kerangka pemikiran
sistematis yang kita sebut "teori". Secara kongkret teori etika ini
sering terfokuskan pada perbuatan. Teori etika menyediakan kerangka yang
memungkinkan kita memastikan benar tidaknya keputusan moral kita. Suatu etika membantu
kita untuk mengambil keputusan moral yang tahan uji, jika di tanyakan tentang
dasarnya. Teori etika menyediakan justifikasi untuk keputusan kita.
Disini akan di bahas secara singkat
beberapa teori yang dewasa ini paling penting dalam pemikiran moral, khususnya
dalam etika bisnis.
1. Teori Deontologi menurut Sonny Keraf (1998 ; 22-27)
Istilah
‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu,
etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik.
Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan
berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan
tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan
itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang
memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu.
Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan
karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena
tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya, memberikan
pelayanan yang baik kepada semua konsumen, untuk mengembalikan utangnya sesuai
dengan kesepakatan, untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding
dengan harganya, dan sebagainya. Jadi, nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh
akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.
2. Etika Teleologi menurut Sonny Keraf (1998:27)
Etika teleologi
justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau
dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan
tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu
tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik atau kalau
akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna.
Misalnya, mencuri bagi etika teleogi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Tindakan seorang anak yang mencuri demi membayar pengobatan ibunya yang sakit parah akan dinilai secara moral sebagai tindakan baik, terlepas dari kenyataan bahwa secara legal ia bisa dihukum. Sebaliknya, kalau tindakan itu bertujuan jahat, maka tindakan itu pun dinilai jahat. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada siuasi khusus tertentu.
3. Utilitarisme menurut kees bertens (2000:66-69)
"
utilitarisme" berasal dari kata latin utilis
yang berarti "bermanfaat". Menurut teori ini suatu perbuatan
adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan
saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut suatu
perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan adalah the greatest happiness
of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar.
Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas
adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup, misalnya
merupakan tanggung jawab moral kita ? Utilitarisme menjawab : karena hal itu membawa
manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk juga
generasi generasi sesudah kita.
Utilitarisme
sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai naik buruknya.
Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau
akibat yang dibawakan olehnya. Jika perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar,
artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat,
maka perbuatan itu adalah baik. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan
seluruh kualitas moralnya. Karena disini konsekuensi begitu dipentingkan,
utilitarisme kadang kadang dinamai juga "konsekuensialisme".
Utilitarisme
disebut lagi suatu teori teleologis (dari kata yunani telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu
perbuatab diperoleh dengan di capainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang
bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa apa, menurut utilitarisme tidak
pantas disebut baik.
Dua macam utilitarisme
: utilitarisme perbuatan dan utilitarisme aturan. Prinsip dasar utilitarisme
(manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan.
Prinsip dasar utilitarisme tidak harus diterapkan atas perbuatan-perbuatan yang
kita lakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam
masyarakat sebagai pegangan bagi perilaku kita. Misalnya kita menerapkan
prinsip atas aturan moral "janji harus ditepati".
Kita dapat
menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi diri pada justifikasi aturan
aturan moral. Dengan demikian mereka memang dapat menghindari beberapa
kesulitan dari utilitarisme perbuatan. Karena itu utilitarisme aturan ini
merupakan suatu upaya teoritis yang menarik.
4. Teori hak menurut kees bertens
(2000:72-73)
Teori hak
berkaitan dengan kewajiban. Malah bisa dikatakan, hak dan kewajiban bagaikan
dua sisi dari uang logam yang sama.
Hak didasarkan
atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu teori hak
sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Dari segi martabatnya tidak
ada perbedaan dan akibatnya ia tidak boleh diperlakukan dengan cara yang
berbeda. Karena itu manusia individual siapapun tidak pernah boleh dikorbankan
demi tercapainya suatu tujuan yang lain.
Karyawan mempunyai
hak atas gaji adil, atau lingkungan kerja yang sehat dan aman dan seterusnya.
Konsumen berhak atas produk yang sehat aman dan sesuai harapannya ketika ia
membelinya. Dengan demikian saat ini semakin banyak topik etika bisnis di
dekati dari segi hak.
Hak asasi manusia didasarkan atas
beberapa sumber otoritas, yaitu:
A.
Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas sistem / yurisdiksi
hukum suatu negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu Negara adalah
Undang-Undang Dasar negara yang bersangkutan.
B.
Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dihubungkan dengan pribadi
manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok
bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan
individu sepanjang kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain.
C.
Hak kontraktual (contractual right), mengikat individu-individu yang
membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing
kontrak.
5. Teori keutamaan (Virtue Theory)
menurut kees bertens (2000:73-75)
Teori keutamaan
(virtue) yang memandang sikap atau
akhlak seseorang. Dalam hal ini tokoh besar yang masih di kagumi sekarang
adalah aristoteles (384-322 SM). Teori keutamaan sekarang untuk sebagian besar
menghidupkan kembali pemikiran aristoteles. Kadang kadang di terjemahkan sebagai
"kebajikan" atau "kesalehan". Tetapi terjemahan lebih baik
dalam bahasa indonesia adalah " keutamaan", karena terjemahan itulah
paling dekat dengan kata arete yang di pakai aristotles dan seluruh tradisi
filsafat yunani.
Keutamaan bisa di definisikan
sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan
memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kebijaksanaan,
misalnya merupakan suatu keutamaan yabg membuat seseorang mengambil keputusan
tepat dalam setiap situasi.
C. JURNAL
D. KESIMPULAN
Allah SWT
menghendaki perlunya pertanggung jawaban yang benar dalam kegiatan bisnis.
Surat al-baqarah ayat 282-283 adalah ayat utama yang berkaitan dengan proses
catat mencatat (akuntansi) dalam kegiatan bisnis pada intinya ayat tersebut
mengajarkan kepada manusia agar kegiatan bisnis dilakukan sesuai dengan konsep
kejujuran, keadilan dan kebenaran.
Penetapan
standar akuntan yang baik adalah memiliki etika bisnis yang baik juga baik
untuk diri sendiri, perusahaan maupun masyarakat sosial dalam lingkungan perusahaan.
Modal dasar
sikap yang harus dimiliki seorang akuntan terdiri dari tanggung jawab, mandiri,
kreatif, selalu optimis dan tidak mudah putus asa, jujur dan dapat dipercaya,
sabar dan tidak panik ketika mengalami kegagalan.
Unsur-unsur
etika dalam Akuntansi memberikan kemudahan kepada akuntan untuk memutuskan
sesuatu secara baik dan benar sehingga semua bisnis yang djialankan mendapatkan
laba yang sesuai serta bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi dari
dalam perusahaan maupun sosial kemasyarakatan.
Konsep nilai
etika bagi para pelaku bisnis islami memungkinkan para pelaku bisnis dapat
menyesuaikan perilaku dan kepribadiannya sesuai dengan syariah islam. Dalam
akuntansi mulai dari pencatatan sehingga penyajian pelaporan yang di lakukan oleh
seseorang akuntan tidak terlepas dari suatu nilai etika bisnis. Oleh karena itu
etika bisnis memiliki relevansi terhadap akuntansi syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta :
Kanisius
DR. A. Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta :
Kanisius
jurnal.unsyiah.ac.id/EKaPI/article/download/5548/458
mawaddaah, nurul dan indra wijaya. 2016. “Relevansi nilai Etika bisnis
dalam ruang lingkup ekonomi syariah”.jurnal ekonomi dan kebijakan public.
Volume 3 no 1, mei 2016