Rabu, 29 Maret 2017

ETIKA BISNIS 1

A. PENGERTIAN ETIKA BISNIS

Etika dalam buku Sonny Keraf (2012 ; 13-14), Etika berasal dari kata Yunani ethos, yang dalam bentuk jamaknya (ta etha) berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Dalam pengertian ini etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang yang lain atau dari satu generasi ke generasi yang lain. Kebiasaan ini lalu terungkap dalam perilaku berpola yang terus berulang sebagai sebuah kebiasaan.
Pengertian Etika sama dengan pengertian moralitas. Moralitas berasal dari kata Latin mos, yang dalam bentuk jamaknya (mores) berarti ‘adat istiadat’ atau ‘kebiasaan’. Jadi, dalam pengertian pertama ini, yaitu pengertian harfiahnya, etika dan moralitas sama-sama berarti sistem nilai tentang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam sebuah adat kebiasaan yang kemudian terwujud dalam pola perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana layaknya sebuah kebiasaan.
Kesimpulannya : Etika merupakan pola tingkah laku yang terus berulang menjadi kebiasaan yang berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup dan aturan hidup yang baik.


B. MACAM-MACAM TEORI ETIKA

Prinsip prinsip etika tidak berdiri sendiri. Tetapi tercantum dalam suatu kerangka pemikiran sistematis yang kita sebut "teori". Secara kongkret teori etika ini sering terfokuskan pada perbuatan. Teori etika menyediakan kerangka yang memungkinkan kita memastikan benar tidaknya keputusan moral kita. Suatu etika membantu kita untuk mengambil keputusan moral yang tahan uji, jika di tanyakan tentang dasarnya. Teori etika menyediakan justifikasi untuk keputusan kita.
Disini akan di bahas secara singkat beberapa teori yang dewasa ini paling penting dalam pemikiran moral, khususnya dalam etika bisnis.

1. Teori Deontologi menurut Sonny Keraf (1998 ; 22-27)
Istilah ‘deontologi’ berasal dari kata Yunani deon, yang berarti kewajiban. Karena itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia untuk bertindak secara baik. Menurut etika deontologi, suatu tindakan itu baik bukan dinilai dan dibenarkan berdasarkan akibat atau tujuan baik dari tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri sebagai baik pada dirinya sendiri. Dengan kata lain, tindakan itu bernilai moral karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Misalnya, suatu tindakan bisnis akan dinilai baik oleh etika deontologi bukan karena tindakan itu mendatangkan akibat baik bagi pelakunya, melainkan karena tindakan itu sejalan dengan kewajiban si pelaku untuk, misalnya, memberikan pelayanan yang baik kepada semua konsumen, untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan kesepakatan, untuk menawarkan barang dan jasa dengan mutu yang sebanding dengan harganya, dan sebagainya. Jadi, nilai tindakan itu tidak ditentukan oleh akibat atau tujuan baik dari tindakan itu.

2.  Etika Teleologi menurut Sonny Keraf (1998:27)
Etika teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik, kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik atau kalau akibat yang ditimbulkannya baik dan berguna.

           Misalnya, mencuri bagi etika teleogi tidak dinilai baik atau buruk berdasarkan baik buruknya tindakan itu sendiri, melainkan oleh tujuan dan akibat dari tindakan itu. Kalau tujuannya baik, maka tindakan itu dinilai baik. Tindakan seorang anak yang mencuri demi membayar pengobatan ibunya yang sakit parah akan dinilai secara moral sebagai tindakan baik, terlepas dari kenyataan bahwa secara legal ia bisa dihukum. Sebaliknya, kalau tindakan itu bertujuan jahat, maka tindakan itu pun dinilai jahat. Atas dasar ini dapat dikatakan bahwa etika teleologi lebih situasional, karena tujuan dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada siuasi khusus tertentu.

3. Utilitarisme menurut kees bertens (2000:66-69)
" utilitarisme" berasal dari kata latin utilis yang berarti "bermanfaat". Menurut teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat sebagai keseluruhan. Menurut suatu perumusan terkenal, dalam rangka pemikiran utilitarisme (utilitarianism) kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik. Mengapa melestarikan lingkungan hidup, misalnya merupakan tanggung jawab moral kita ? Utilitarisme menjawab : karena hal itu membawa manfaat paling besar bagi umat manusia sebagai keseluruhan, termasuk juga generasi generasi sesudah kita.
Utilitarisme sangat menekankan pentingnya konsekuensi perbuatan dalam menilai naik buruknya. Kualitas moral suatu perbuatan baik buruknya tergantung pada konsekuensi atau akibat yang dibawakan olehnya. Jika perbuatan mengakibatkan manfaat paling besar, artinya paling memajukan kemakmuran, kesejahteraan, dan kebahagiaan masyarakat, maka perbuatan itu adalah baik. Konsekuensi perbuatan disini memang menentukan seluruh kualitas moralnya. Karena disini konsekuensi begitu dipentingkan, utilitarisme kadang kadang dinamai juga "konsekuensialisme".
Utilitarisme disebut lagi suatu teori teleologis (dari kata yunani telos = tujuan), sebab menurut teori ini kualitas etis suatu perbuatab diperoleh dengan di capainya tujuan perbuatan. Perbuatan yang memang bermaksud baik tetapi tidak menghasilkan apa apa, menurut utilitarisme tidak pantas disebut baik.
Dua macam utilitarisme : utilitarisme perbuatan dan utilitarisme aturan. Prinsip dasar utilitarisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang terbesar) diterapkan pada perbuatan. Prinsip dasar utilitarisme tidak harus diterapkan atas perbuatan-perbuatan yang kita lakukan, melainkan atas aturan-aturan moral yang kita terima bersama dalam masyarakat sebagai pegangan bagi perilaku kita. Misalnya kita menerapkan prinsip atas aturan moral "janji harus ditepati".
Kita dapat menyimpulkan bahwa utilitarisme aturan membatasi diri pada justifikasi aturan aturan moral. Dengan demikian mereka memang dapat menghindari beberapa kesulitan dari utilitarisme perbuatan. Karena itu utilitarisme aturan ini merupakan suatu upaya teoritis yang menarik.

4. Teori hak menurut kees bertens (2000:72-73)
Teori hak berkaitan dengan kewajiban. Malah bisa dikatakan, hak dan kewajiban bagaikan dua sisi dari uang logam yang sama.
Hak didasarkan atas martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu teori hak sangat cocok dengan suasana pemikiran demokratis. Dari segi martabatnya tidak ada perbedaan dan akibatnya ia tidak boleh diperlakukan dengan cara yang berbeda. Karena itu manusia individual siapapun tidak pernah boleh dikorbankan demi tercapainya suatu tujuan yang lain.
Karyawan mempunyai hak atas gaji adil, atau lingkungan kerja yang sehat dan aman dan seterusnya. Konsumen berhak atas produk yang sehat aman dan sesuai harapannya ketika ia membelinya. Dengan demikian saat ini semakin banyak topik etika bisnis di dekati dari segi hak.
Hak asasi manusia didasarkan atas beberapa sumber otoritas, yaitu:
A. Hak hukum (legal right), adalah hak yang didasarkan atas sistem / yurisdiksi hukum  suatu negara, di mana sumber hukum tertinggi suatu Negara adalah Undang-Undang Dasar  negara yang bersangkutan.
B. Hak moral atau kemanusiaan (moral, human right), dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu, atau dalam beberapa kasus dihubungkan dengan kelompok bukan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan individu itu tidak melanggar hak-hak orang lain.
C. Hak kontraktual (contractual right),  mengikat individu-individu yang membuat kesepakatan/kontrak bersama dalam wujud hak dan kewajiban masing-masing kontrak.

5. Teori keutamaan (Virtue Theory) menurut kees bertens (2000:73-75)
Teori keutamaan (virtue) yang memandang sikap atau akhlak seseorang. Dalam hal ini tokoh besar yang masih di kagumi sekarang adalah aristoteles (384-322 SM). Teori keutamaan sekarang untuk sebagian besar menghidupkan kembali pemikiran aristoteles. Kadang kadang di terjemahkan sebagai "kebajikan" atau "kesalehan". Tetapi terjemahan lebih baik dalam bahasa indonesia adalah " keutamaan", karena terjemahan itulah paling dekat dengan kata arete yang di pakai aristotles dan seluruh tradisi filsafat yunani.
Keutamaan bisa di definisikan sebagai berikut : disposisi watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk bertingkah laku baik secara moral. Kebijaksanaan, misalnya merupakan suatu keutamaan yabg membuat seseorang mengambil keputusan tepat dalam setiap situasi.



C. JURNAL




D. KESIMPULAN

Allah SWT menghendaki perlunya pertanggung jawaban yang benar dalam kegiatan bisnis. Surat al-baqarah ayat 282-283 adalah ayat utama yang berkaitan dengan proses catat mencatat (akuntansi) dalam kegiatan bisnis pada intinya ayat tersebut mengajarkan kepada manusia agar kegiatan bisnis dilakukan sesuai dengan konsep kejujuran, keadilan dan kebenaran.
Penetapan standar akuntan yang baik adalah memiliki etika bisnis yang baik juga baik untuk diri sendiri, perusahaan maupun masyarakat sosial dalam lingkungan perusahaan.
Modal dasar sikap yang harus dimiliki seorang akuntan terdiri dari tanggung jawab, mandiri, kreatif, selalu optimis dan tidak mudah putus asa, jujur dan dapat dipercaya, sabar dan tidak panik ketika mengalami kegagalan.
Unsur-unsur etika dalam Akuntansi memberikan kemudahan kepada akuntan untuk memutuskan sesuatu secara baik dan benar sehingga semua bisnis yang djialankan mendapatkan laba yang sesuai serta bertanggung jawab atas permasalahan yang terjadi dari dalam perusahaan maupun sosial kemasyarakatan. 
Konsep nilai etika bagi para pelaku bisnis islami memungkinkan para pelaku bisnis dapat menyesuaikan perilaku dan kepribadiannya sesuai dengan syariah islam. Dalam akuntansi mulai dari pencatatan sehingga penyajian pelaporan yang di lakukan oleh seseorang akuntan tidak terlepas dari suatu nilai etika bisnis. Oleh karena itu etika bisnis memiliki relevansi terhadap akuntansi syariah.

DAFTAR PUSTAKA

Bertens, K. 2000. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius

DR. A. Sonny Keraf. 1998. Etika Bisnis. Yogyakarta : Kanisius

jurnal.unsyiah.ac.id/EKaPI/article/download/5548/458

mawaddaah, nurul dan indra wijaya. 2016. “Relevansi nilai Etika bisnis dalam ruang lingkup ekonomi syariah”.jurnal ekonomi dan kebijakan public. Volume 3 no 1, mei 2016